ASATUNEWS – Fenomena melejitnya popularitas dan elektabilitas Joko Widodo
(Jokowi), ke puncak teratas mayoritas hasil survey, poling, jajak pendapat dan
liputan media massa yang luar biasa terhadapnya menimbulkan pertanyaan besar
sebagian orang yang melihat banyak keganjilan (anomali) di sekitar Jokowi.
Liputan media bagai tak pernah henti menyiarkan segala aktifitas Jokowi.
Berbagai event (kegiatan) terlihat begitu nyata diskenariokan untuk kepentingan
peliputan Jokowi dan mendorong popularitasnya hingga ke titik tertinggi. Tidak
cukup sampai di situ, ‘pasukan khusus’ di dunia maya (blog, socmed, artikel –
artikel di media online, dan seterusnya) seolah – olah beroperasi 24 jam untuk
mengkampanyekan sosok Jokowi. Tugas tambahan ‘cyber army’ ini adalah
membantai/menyerang siapa saja yang memberikan penilaian miring atau mengkritik
Jokowi.
Secara umum, popularitas dan elektabilitas Jokowi adalah rangkaian kegiatan
Jokowi yang didukung oleh peliputan media yang masif, intensif dan sistematis.
Diperkuat dengan komentar - komentar dari akademisi /pengamat kelompok
tertentu yang merupakan bagian dari tim sukses Jokowi. Dalam setiap kegiatan
Jokowi tidak lupa dikerahkan tim khusus yang ‘memeriahkan dan memberi
kontribusi positip’ terhadap kegiatan tersebut.
Sebagai gubernur, Jokowi lebih banyak diarahkan untuk membuat program –
program yang bersifat populis dengan menyelenggarakan acara – acara pesta,
perlombaan, mengundang selebritis kelas dunia, kunjungan – kunjungan langsung
ke masyarakat kelas bawah (blusukan), pemberian sumbangan dalam bentuk
uang dan lainnya kepada warga miskin, dan seterusnya.
Semua kegiatan Jokowi tersebut, yang sebagian besar menggunakan uang negara
(APBD DKI), lebih banyak ditujukan untuk kepentingan pribadi Jokowi dari pada
kepentingan negara, rakyat atau pemerintah DKI Jakarta. Acara seperti Festival
Keraton Sedunia, perayaan ulang tahun Kota Jakarta, perayaan tahun baru, dan
berbagai festival atau pesta rakyat yang menggunakan anggaran APBD DKI Jakarta
tetapi tujuan utamanya adalah memberikan ruang dan kesempatan bagi Jokowi dan
timsesnya untuk melambungkan nama Jokowi melalui liputan – liputan semua jenis
media yang sudah dipersiapkan timses Jokowi.
Penciptaan atau rekayasa popularitas Jokowi ini dilakukan oleh sebuah tim
konsultan politik yang luar biasa, berbiaya sangat mahal dan bekerja untuk
waktu yang cukup lama, terhitung sejak awal persiapan Pilkada DKI Jakarta awal
tahun 2012 sampai masa pemilihan presiden Juli 2014.
Pola atau bentuk kampanye terselubung yang dilakukan timses Jokowi ini
merupakan karya Stanley Greenberg, konsultan politik paling terkemuka di dunia yang
telah berhasil memenangkan 11 kepala pemerintahan (presiden / perdana menteri),
ratusan anggota kongres, senator dan gubernur di Amerika Serikat, serta
konsultan pencitraan dan politik untuk berbagai perusahaan multinasional
raksasa (British Petroleum, Mosanto dan lain – lain).
Keterlibatan Stanley ‘Stan’ Greenberg dalam tim sukses dan tim politik
Jokowi tidak dapat dipisahkan dari sosok James Riady, konglomerat pemilik Lippo
Grup dan First Media Grup. James Riady dan Stan Greenberg merupakan dua tokoh
yang sama-sama sahabat baik mantan presiden AS, Bill Clinton. James Riady dan
Stan Greenberg adalah dua tokoh yang sangat berjasa mengantarkan Bill Clinton
terpilih sebagai Presiden AS pada pemilihan presiden 1992 dan 1996. Keduanya
juga tercatat sebagai anggota organisasi elit, Arkansas Connection.
Arkansas Connection adalah sebuah organisasi non formal yang merujuk pada
sebuah kelompok terbatas, umumnya terkait pada daerah asal dan masa lalu Bill
Clinton sebagai Jaksa Agung dan Gubernur Arkansas. Kelompok elit yang dijuluki
sebagai Arkansas Connection ini adalah kelompok orang yang sangat berkuasa di
Partai Demokrat AS dan memiliki akses luar biasa terhadap pemerintahan AS
sekarang ini di mana Barrack Obama menjadi Presiden. Arkansas Connection
merupakan mentor atau pembimbing Obama sejak awal masa pemilihan presiden tahun
2008 sampai terpilihnya kembali Obama pada pilpres 2012. Arkansas Connection
diketahui banyak memberikan saran dan nasihat dalam setiap keputusan dan
kebijakan Obama sebagai presiden AS.
Hubungan James Riady dan Obama selain ditautkan oleh Arkansas Connetion dan
Clinton, juga hubungan historis Obama dengan Indonesia. Ayah tiri dan saudara –
saudara tiri Obama adalah warga negara Indonesia. Obama sendiri masa kecil
pernah di Indonesia, bahkan pernah bersekolah di SD Menteng, Jakarta Pusat.
James Riady sebagai otak di balik kemenangan Jokowi Widodo atau kerap
dipanggil Jokowi ditenggarai memiliki kepentingan tertentu terhadap Jokowi yang
ia dorong agar terpilih menjadi Presiden RI dalam pemilihan 9 Juli 2014
mendatang.
Sebagai konglomerat Indonesia, pemilik Grup Lippo dan Grup First Media,
upaya James Riady menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI bukan hal yang
mustahil, bahkan bukan hal yang sulit. Kiprahnya dalam tim sukses Bill Clinton
pada pemilihan Presiden AS tahun 1992 dan 1995 serta hubungan khususnya dengan
para elite AS menjadi modal besar sangat berguna bagi rencana besarnya
menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI.
Rencana besar (grand scenario) James Riady menjadikan Jokowi sebagai Presiden
RI mendapatkan bantuan sepenuhnya dari mentornya, Antony Salim. Meski tidak
secara langsung atau terbuka, Antony Salim membantu James Riady melalui tangan
Chairul Tanjung, proxy (kuasa bisnis) Antony di Bank Mega dan Trans
Corporation. Melalui bantuan Antony Salim, ratusan organisasi relawan
Jokowi di seluruh Indonesia dibentuk dan dibiayai Chairul Tanjung dan/atau
Trans Corp.
Antony Salim adalah putra Liem Sioe Liong atau Sudono Salim (almarhum),
taipan terkaya di Indonesia yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto
pada masa Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri, keberhasilan Grup Salim menjadi
konglomerasi terbesar di Indonesia karena kedekatannya dengan Presiden
Soeharto, yang memberikan begitu banyak kemudahan dan konsesi terhadap Sudono
Salim/Grup Salim.
Hubungan Presiden Soeharto dan Sudono Salim merenggang ketika Sudono Salim
sebagai pemimpin para konglomerat Indonesia yang tergabung dalam Yayasan
Prasetya Mulia menolak permintaan Soeharto untuk memberikan sumbangan sekitar
2,5% dari laba bersih perusahaan milik para konglomerat yang rencananya akan
digunakan sebagai sumber pembiayaan dan pembinaan usaha mikro, usaha kecil,
koperasi, dan usaha menengah kaum pribumi Indonesia yang masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan kaum nonpribumi yang mendominasi sektor ekonomi Indonesia
selama puluhan tahun.
Antony Salim adalah mentor atau pembimbing James Riady. Dalam tradisi Cina,
Antony Salim adalah “toako” bagi James Riady, sebagaimana ayahnya, Muchtar
Riady, mantan Direktur Utama Bank BCA (milik Grup Salim), yang juga direkrut
dan dibina Sudono Salim (ayah Antony Salim).
Antony Salim dan James Riady disinyalir sebagai inisiator yang mengumpulkan
seluruh konglomerat Cina Indonesia untuk bersatu-padu menjadikan Jokowi sebagai
Presiden RI mendatang, dengan mengumpulkan dana bagi pemenangan Jokowi,
menyiapkan jaringan media, memanfaatkan jaringan Cina internasional, meminta
Stanley Greenberg menyusun strategi pencitraan untuk melambungkan popularitas
dan elektabilitas Jokowi, dan lain – lain.
Pertemanan akrab James Riady, konglomerat Indonesia, putra Muchtar Riady
(mantan Direktur Utama Bank BCA dan pendiri Grup Lippo) dengan William
Jefferson Clinton alias Bill Clinton dimulai dari kunjungan Sudono Salim (ayah
Antory Salim) dan Muchtar Riady ke Little Rock City, ibu kota negara bagian
Arkansas, Amerika Serikat, pada tahun 1984.
Kunjungan kedua taipan Indonesia ke Little Rock City pada tahun 1984 itu
disebut-sebut bertujuan mencari sebuah bank yang dapat dibeli sebagai wujud
rencana perluasan bisnis Grup Salim/Bank BCA di AS. Menurut laporan
penyelidikan gabungan Kongres dan Senat AS, alasan yang dikemukakan kedua
taipan Indonesia itu sangat absurd dan tidak dapat diterima logika, karena
Little Rock City bukan merupakan salah satu kota keuangan atau kota bisnis di
AS.
Laporan penyelidikan Kongres dan Senat AS terkait skandal sumbangan haram
Grup Lippo untuk tim sukses Presiden Bill Clinton (Lippogate) lebih lanjut
menjelaskan alasan sebenarnya dari kedatangan Liem Sioe Liong dan Muchtar Riady
ke Little Rock City adalah untuk menjalankan misi khusus, yakni mendekati Bill
Clinton yang saat itu sudah disebut-sebut sebagai calon pemimpin masa depan
atau calon Presiden AS di masa mendatang.
Sebagaimana James Riady, Muchtar Riady disebut terkait erat dengan badan intelijen
Cina, sesuai berbagai hasil penyelidikan pihak berwewenang AS yang membongkar
sumbangan haram dari Grup Lippo kepada tim sukses Bill Clinton.
Pada tahun 1986, James Riady ditugaskan ayahnya untuk mengelola Worthen Bank
di Little Rock City, Arkansas, dengan tugas khusus melakukan pendekatan pribadi
kepada Keluarga Clinton. Bill Clinton adalah Presiden Ke-42 Amerika Serikat. Ia
menjabat dua kali masa jabatan periode 20 Januari 1993 hingga 20 Januari 2000.
Sebelum terpilih menjadi presiden, Clinton selama sekitar 12 tahun adalah
Gubernur Arkansas, yang ke-40 dan ke-42. Istrinya, Hillary Rodham Clinton,
adalah senator dari daerah pemilihan New York.
Pada 1976, Clinton terpilih sebagai Jaksa Agung Arkansas dan menjadi
gubernur pada negara bagian tersebut pada 1978. Setelah gagal dalam usahanya
mempertahankan posisi tersebut, ia berhasil mendapatkannya kembali empat tahun
kemudian, 1986, dan terpilih kembali menjadi Gubernur Arkansas sampai tahun
1990. Ia kemudian berhasil mengalahkan Presiden George Bush serta kandidat
independen, Ross Perot, pada pemilihan presiden 1992.
Selama 1986-1990 James Riady menjalin hubungan erat dengan Bill dan Hillary
Clinton sehingga berhasil menyusup ke jantung kekuasaan Amerika Serikat di
Gedung Putih ketika Clinton terpilih menjadi Presiden AS pada tahun 1992 dan
terpilih kembali menjadi presiden pada tahun 1996. James Riady terkenal namanya
ke seluruh dunia ketika skandal politik sumbangan uang haram ke tim sukses Bill
Clinton terbongkar, hanya beberapa saat setelah Bill Clinton dilantik sebagai
Presiden AS untuk kedua kalinya (1996). Skandal itu kemudian dikenal dengan
nama “Lippogate”.
Hasil temuan penyidik pada Lippogate sangat mengejutkan rakyat Amerika
Serikat karena terbukti uang haram jutaan dolar AS yang disumbangkan James
Riady dan teman-temannya, terutama oleh John Huang (mantan Vice President Bank
Lippo di Amerika Serikat), ternyata sebagian besar berasal dari China Resources
Corporation (CRC), sebuah perusahaan berbadan hukum Hong Kong yang merupakan
perusahaan kedok milik China Military Intelligence (CMI).
Nama Lippo dan James Riady pertama sekali mendunia disebabkan terbongkarnya
kasus sumbangan haram untuk dana kampanye Presiden Amerika Serikat (AS) Bill
Clinton pada tahun 1996, tidak lama setelah Clinton dilantik sebagai Presiden
AS untuk periode kedua.
Skandal Lippo atau Lippogate berawal pada tahun 1995, ketika Clinton merasa
sangat khawatir dengan pemilihan presiden mendatang. Partai Demokrat telah
hancur total sesuai hasil pemilihan DPR dan Senat pada pertengahan tahun 1994.
Partai Republik berhasil menguasai DPR dan Senat untuk pertama kalinya sejak
1954. Tidak hanya itu, Partai Demokrat tengah menghadapi masalah serius dalam
mengembangkan penggalangan dana publik untuk Partai Demokrat dan tim sukses Bill
Clinton.
Para pengamat politik bahkan mempertanyakan secara terbuka, apakah Clinton
relevan mengikuti debat capres pada musim kampanye pilpres mendatang. Kekalahan
di pilpres tahun 1996 tampaknya tak terelakkan lagi bilamana merujuk pada
bencana besar partainya yang dialami pada pemilihan anggota DPR dan Senat tahun
1994.
Kinerja buruk pada tahun 1994 yang ditampilkan partai, telah menjadikan Tim
konsultan yang telah membawanya ke kemenangan pada tahun 1992 sebagai sasaran
kekecewaan dan kambing hitam.
Clinton memutuskan mengambil strategi radikal dalam kampanye pilpres 1996.
Untuk mendukung strategi itu, Clinton membutuhkan banyak uang tunai dan ia akan
membutuhkan uang tunai dalam jumlah besar secepatnya.
Gedung Putih sangat serius membahas tentang penggalangan dana untuk
mendukung strategi Clinton tersebut. Semua pihak akan dilibatkan dalam
penggalangan dana, termasuk presiden dan istrinya, Hilary Clinton; wakil
presiden, dan; seluruh staf mereka.
Namun, Demokrat menghadapi kebuntuan dari mana sumber untuk mendapatkan uang
dalam jumlah besar dalam waktu sangkat singkat. Partai Demokrat tidak lagi
menguasai mayoritas Kongres sehingga tidak akan mudah mengumpulkan dana dari
kelompok-kelompok kepentingan yang menginginkan akses dan bantuan dalam proses legislasi.
Akhirnya rencana baru dicanangkan. Partai Demokrat akan mengembangkan
rencana kreatif untuk memperluas target donatur. Jenis baru dari konstituen
yang sebelumnya tidak diperhatikan akan didekati dan dimaksimalkan.
Kelompok-kelompok seperti Asia-Amerika dan perusahaan asing yang punya
cabang/perwakilan di AS akan digarap. Sumber daya mereka akan mendanai upaya
pemilihan kembali Clinton.
Selama 10 bulan, Clinton menghadiri 237 acara pengumpulan dana dan
mengumpulkan total US$ 119.200.000! Jumlah ini lebih dari dua kali jumlah
pengumpulan dana Presiden Bush yang diselenggarakan pada tahun 1992. Clinton
akan berhasil dalam upaya penggalangan dana dan menang pemilihan ulang atas
rivalnya dari Partai Republik Robert “Bob” Dole.
Namun ternyata, dalam proses penggalangan dana yang sukses itu, kemudian
terbongkar skandal sangat memalukan, yakni Partai Demokrat dan Presiden Bill
Clinton terbukti telah menerima donasi/sumbangan yang berasal dari sumber
ilegal. Skandal ini kemudian terkenal ke seluruh dunia dengan nama Lippogate
(skandal Lippo).
Terbukti, untuk melaksanakan rencananya menggalang dana kampanye, Clinton
meminta bantuan ke sejumlah teman lama dari negara bagian Arkansas, di
antaranya adalah James Riady, pemilik Worthen Bank, sebuah bank kecil di Little
Rock City, yang telah menjadi teman lama keluarga Clinton.
Perusahaan Riady adalah bagian dari kerajaan dunia bisnis yang beroperasi di
bawah nama Grup Lippo. Bisnis Lippo mengkhususkan diri pada sektor perbankan,
realestat, energi, dan sejenisnya itu dikendalikan oleh ayahnya, Mochtar Riady,
seorang bankir dan konglomerat terkemuka Indonesia.
Salah satu eksekutif yang bekerja pada James Riady bernama John Huang, 51
tahun. John Huang lahir di Cina pada tahun 1945 dan keluarga Huang telah
bermigrasi ke Taiwan pada tahun 1949 ketika komunis mengambil alih Cina
Daratan. Ayah John Huang adalah seorang jenderal Cina nasionalis. Huang lulus
dari Tatung Institute of Technology pada tahun 1967 dan menjabat sebagai letnan
di Angkatan Udara Taiwan. Ia pindah ke Amerika pada tahun 1969 dan memperoleh
gelar master dalam bisnis dari University of Connecticut. Huang menjadi warga
negara AS melalui naturalisasi tahun 1976.
Karir Huang dimulai sebagai trainee di sebuah bank di Washington, DC. Lalu
menjadi asisten wakil presiden. Pada tahun 1985, Huang direkrut James Riady
sebagai Wakil Dirut Eksekutif Divisi Lippo di Hong Kong. Setahun
kemudian, ia pdiangkat menjadi Presiden dan Chief Operating Officer Bank Lippo
di Los Angeles, AS.
Dalam berbagai kesempatan, Huang selalu ingin meningkatkan pengaruh politik
dari warga Asia-Amerika. Huang melihat, Asia-Amerika dapat meningkatkan
pengaruh Asia-Amerika di tingkat politik lokal, tapi tidak signifikan
pengaruhnya dalam politik nasional.
Sebelumnya, dalam kontes presiden tahun 1992, Huang menyelenggarakan sebuah
acara penggalangan dana yang sangat sukses untuk Clinton di California, yang
meraih US$ 1,25 juta dari komunitas Asia-Amerika di Los Angeles. Ini adalah
pertama kalinya Asia-Amerika sangat aktif dalam politik kontes Presiden AS.
Pada tahun 1994, setelah menerima bonus US$ 879,000, Huang keluar dari Grup
Lippo untuk mengisi posisi strategis di Departemen Perdagangan AS. Ia adalah
pejabat pemeritah Amerika-Asia yang menduduki posisi tertinggi.
Di Departemen Perdagangan AS, Huang menjabat sebagai deputi menteri untuk
kebijakan ekonomi internasional. Dari pekerjaan itu, Huang memiliki akses ke
sarana komunikasi kedutaan, laporan intelijen, dan informasi yang digunakan
untuk mengembangkan kebijakan perdagangan AS yang bersifat rahasia, termasuk
dalam hal mewakili pemerintah AS untuk bernegosiasi, diskusi tentang sanksi
perdagangan dan kegiatan dengan pemerintah asing, dan seterusnya.
Pada beberapa kesempatan, Huang dan James Riady sering melakukan pertemuan
pribadi dengan Presiden Clinton di Gedung Putih. John Huang diketahui telah
mengunjungi Gedung Putih 52 kali.
Kampanye Presiden Tahun 1996
Pada Desember 1995, Huang pindah mengisi posisi eksekutif penggalangan dana
pada Komite Nasional Partai Demokrat (DNC). Segera setelah bergabungnya Huang,
kontribusi/sumbangan ke DNC meningkat secara luar biasa.
Sebuah perusahaan Korea Selatan yang disebut Cheong Am America, Inc
menyumbangkan US$ 250.000. Sebuah acara di sebuah kuil Buddha mengumpulkan US$
140,000. Sebuah pasangan Indonesia memberikan US$ 425.000 kepada DNC. Pada Juli
1996, dalam acara pengumpulan dana untuk Clinton di Los Angeles, Huang meraih
setengah juta dolar AS.
Presiden Clinton berterima kasih secara terbuka dan mengakui kesuksesan John
Huang di DNC. “Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada teman lama saya, John
Huang, untuk menjadi sangat efektif. Terus terang, ia telah menjadi begitu
efektif. Saya apresiasi kepada Anda semua agar memberi pujian untuk Huang malam
ini,” kata Clinton memuji Huang. Dalam waktu singkat dan tanpa pengalaman
substansial di daerah penggalangan dana politik, Huang telah meraih beberapa
juta dolar AS.
Keterlibatan James Riady, Antony Salim, dan para konglomerat Cina Indonesia
sebagai otak di balik kemenangan Jokowi Widodo (Jokowi) dalam Pilkada DKI
Jakarta tahun 2012 lalu dimulai saat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP,
menyetujui Jokowi diusung PDIP sebagai calon Gubernur DKI Jakarta menggantikan
Mayor Jenderal TNI (Purn) Adang Ruchiatna, yang semula diunggulkan.
Jokowi semula direncanakan maju sebagai calon Gubernur Jawa Tengah bersaing
dengan Bibit Waluyo yang kembali diusung Partai Demokrat. Persiapan untuk
pencalonan Jokowi sebagai calon Gubernur Jawa Tengah sudah lama dilakukan,
terutama melalui pencitraan-pencitraan Jokowi yang dipublikasikan luas dan
masif oleh media-media dan akun-akun di sosial media. Pada tahap awal ini, ada
peran besar konglomerat Edward Suryajaya (anak pendiri Astra, konglomerat
Indonesia, William Suryajaya), Lukminto (pengusaha pemilik PT Sritex Solo),
Imelda Tio (pengusaha properti dan pemilik Paragon/Grup Sun Motor).
Hubungan keluarga antara Edward Suryajaya dengan James Riady mengantarkan
nasib Jokowi ke tangan kelompok James Riady. Setelah terjadi perubahan terhadap
rencana Jokowi tadi, James Riady mempersiapkan sebuah rencana besar: Jokowi
akan diplot sebagai calon presiden setelah memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Tim
besar untuk pemenangan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta sekaligus di pemilihan
Presiden Indonesia pada Juli 2014 dibentuk.
Tidak tanggung-tanggung, James Riady mengonsolidasikan kekuatan untuk
memenangkan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pemilihan Presiden 2014.
Stanley Benhard Greenberg, teman karibnya di Arkansas Connection, diminta
terlibat penuh mendukung Jokowi sebagai Presiden Indonesia.
Pembentukan Jaringan Sosial Media Volunteer (Jasmev) dipimpin Kartika
Djoemadi, seorang paktisi “spin doctor” atau pemutar isu di dunia maya. Ribuan
tenaga honorer direkrut khusus untuk bertugas menjalankan puluhan ribu akun di
sosial media (Facebook, Twitter, dan lain – lain).
Di luar Jasmev yang bekerja 24 jam, dengan tiga shift itu, James Riady dan
teman-temannya juga mengonsolidasikan kekuatan jaringan media yang mereka
miliki serta menyewa (kontrak) media-media lain untuk membantu pembentukan
citra dan elektabilitas Jokowi, mulai dari Pilkada DKI Jakarta sampai Pemilihan
Presiden 2014. Semua disusun secara rapi dan canggih sehingga berhasil
membentuk opini dan persepsi palsu seolah-olah Jokowi adalah calon pemimpin
terbaik yang dimiliki Indonesia.
James Riady dan Antony Salim selaku “mastermind” di balik pencapresan Jokowi
ini belum diketahui maksud dan tujuannya. Diduga, mereka ingin menciptakan
presiden boneka yang berada di bawah kendali mereka.
Untuk jaringan militer (TNI) dan purnawairawan TNI, mantan Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn) Abdul Mahmud Hendro Priyono,
Jenderal Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dankodiklat TNI AD),
Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar (mantan Menteri Perhubungan dan Ketum PSSI),
dan sejumlah purnawirawan jenderal lain direkrut untuk membantu kemenangan
Jokowi.
Untuk pembiayaan rencana mereka memenangkan Jokowi sebagai Gubernur DKI
Jakarta dan Presiden Indonesia, semua sumber daya mayoritas konglomerat Cina
Indonesia, konglomerat-konglomerat buronan kasus korupsi Bantuan Likuidasi Bank
Indonesia (BLBI), bantuan dari China Connection dan Arkansas Connection
dipadukan untuk menyokong rencana besar itu. Termasuk bantuan dana dari
perusahaan besar (konglomerasi) yang sering dikumpulkan, di antaranya melalui
pertemuan rahasia sekitar 50 pengusaha besar
Cina di Panini Cafe, Setiabudi
Building, Jakarta Selatan, pada pertengahan September 2012 lalu.
Sebagai konglomerat Indonesia, pemilik Grup Lippo dan Grup First Media,
upaya James Riady menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI bukan hal yang
mustahil, bahkan bukan hal yang sulit. Kiprahnya dalam tim sukses Bill Clinton
pada pemilihan Presiden AS tahun 1992 dan 1995 serta hubungan khususnya dengan
para elite AS menjadi modal besar sangat berguna bagi rencana besarnya
menjadikan Jokowi sebagai Presiden RI.
Rencana mayoritas konglomerat Tionghoa Indonesia yang dikoordinasi oleh
James Riady untuk mendudukan Jokowi sebagai Presiden Indonesia bukan tanpa
halangan. Perhimpunan Masyarakat Tionghoa Indonesia (INTI) menolak bergabung
dengan kelompok James Riady karena mempertimbangkan potensi bahaya besar yang
akan terjadi jika Jokowi dipaksakan menjadi presiden: dikhawatirkan mayoritas
rakyat Indonesia ketika menyadari konspirasi ini akan marah besar dan berbalik
memusuhi kelompok minoritas yang dituding sebagai dalang dari penciptaan Jokowi
sebagai presiden boneka. INTI menyadari betapa besar bahaya dari konspirasi
politik yang dimainkan mayoritas konglomerat Tionghoa jika rakyat Indonesia
pada akhirnya tidak dapat menerima perbuatan kelompok James Riady yang dianggap
telah menginjak-injak kedaulatan bangsa Indonesia.
Mereka inilah yang dijuluki Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai
penumpang gelap di Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012 lalu. Julukan itu
dinilai sangat tepat karena mereka mendompleng figur Jokowi, yang merupakan
kader PDIP, untuk menggapai tujuan pribadi dan golongan mereka di Indonesia.
Demi mendorong popularitas Gubernur DKI Jakarta sampai ke titik tertinggi,
segala cara dilakukan oleh Stanley Bernard ‘Stan’ Greenberg, konsultan politik,
pollster, ahli strategi pemenangan pemilu – pilpres nomor wahid di dunia, yang
ternyata terbukti selama ini bertindak sebagai ‘sutradara atau otak’ di balik
rekayasa pencitraan dan melambungnya popularitas Jokowi selama dua tahun
terakhir.
Dengan berdalih menampilkan hasil penelitiannya, Stan Greenberg, Ketua Korps
Demokrat Amerika Serikat (AS), sahabat karib konglomerat Indonesia James Riady
yang keduanya juga adalah anggota elit Arkansas Connection, sebuah organisasi
yang sangat berpengaruh di AS, berusaha menipu menipu publik Indonesia dengan
mempromosikan Jokowi berkedok hasil penelitian lembaga penelitiannya.
Stan Greenberg mengatakan elektabilitas Jokowi medio September 2013 adalah
sebesar 68 %, sedangkan PDIP meraih elektabilitas 28 %. Greenberg seolah – olah
mendapatkan kesimpulan penelitian, bahwa alasan responden memilih Jokowi adalah
karena Jokowi tokoh yang jujur dan dapat dipercaya.
Menurut lembaga survei dan konsultan politik yang dikendalikan Partai
Demokrat AS itu, posisi elektabilitas kedua tertinggi setelah Jokowi adalah
Prabowo Subianto (PS) 15 % dan Aburizal Bakrie (ARB) 11 %. Sedang
elektablilitas parpol, setelah PDIP, disusul Golkar 18 %, Gerindra dan Demokrat
yang sama – sama raih 10%.
Prof Dr Iberamsyah, Guru Besar Universitas Indonesia (UI) yang mengikuti
presentasi tersebut beberapa bulan lalu, mengatakan hasil survei tidak terlalu
mengagetkan, karena sudah tercermin dari hasil sejumlah lembaga survei selama
ini. Ketika itu, posisi Stan Greenberg belum diketahui publik sebagai konsultan
politik dan otak rekayasa popularitas dan elektabilitas palsu untuk Jokowi.
“Presentasi pekan lalu, tidak dilaksanakan secara terbuka, karena survey ini
merupakan pesanan sebuah lembaga, bukan inisiatif Stan Greenberg,” ujar
Iberamsyah pada akhir September 2013 lalu.
Persoalan yang mencuat saat ini adalah keraguan masyarakat luas terhadap
seluruh hasil survey, polling atau jajak pendapat bilamana terkait dengan
Jokowi. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga survey yang menilai
Jokowi disebabkan oleh fakta bahwa Stan Greenberg sudah diketahui masyarakat
luas sebagai dalang dari seluruh rekayasa popularitas dan elektabilitas Jokowi.
Semua hasil survey, polling, jajak pendapat dan penilaian terhadap Jokowi
adalah palsu belaka (hasil rekayasa) dan diragukan keabsahannya. Masyarakat
menilai, pengumuman hasil survey, polling, jajak pendapat dan lain lain
terhadap Jokowi hanyalah merupakan hasil rekayasa (dibuat – buat) untuk
menggiring opini dan membentuk persepsi publik seputar kehebatan Jokowi.
Di samping itu, fakta mengenai kinerja Jokowi yang buruk, tercermin dari
kegagalan Jokowi menyerap anggaran APBD secara maksimal (hanya 55%, terendah
dari seluruh propinsi di Indonesia), mandeknya program – program pembangunan
daerah, serta ketidakmampuan Jokowi memenuhi janji – janji kampaye yang
diucapkannya pada saat Pilkada tahun 2012 lalu.
Bencana banjir besar di Jakarta dan kemacetan lalu lintas yang semakin
parah, menyebabkan penilaian rakyat Jakarta semakin negatip terhadap kinerja
Jokowi. Hasilnya, popularitas Jokowi di tengah – tengah masyarakat semakin
tenggelam.
Sementara itu Ketua Umum PDIP, melalui tayangan ‘Mata Najwa’ di Metro TV
Rabu (22/1), menegaskan PDIP tidak akan mencalonkan Jokowi sebagai calon
presiden dan memintanya untuk fokus menyelesaikan tugas sebagai Gubernur DKI
Jakarta selama lima tahun penuh.
Sebuah blog Intelijen yang ditulis oleh Senopati Wirang mencoba memberikan
bantahan terhadap keterlibatan tokoh Yahudi Kiri Liberal Stanley Bernhad
Greenberg dalam merekayasa pembentukan citra palsu, peningkatan popularitas dan
elektabilitas Jokowi. Berikut ini tanggapan terhadap argumentasi Senopati
Wirang.
Tanggapan pertama mengenai konfirmasi keterlibatan Kantor Greenberg Quinlan
Rosner Research yang menurut Senopati Wirang tidak ada catatan atau konfirmasi
bahwa kantor konsultan Greenberg itu terlibat, digunakan atau disewa oleh
Jokowi atau pun tim Jokowi. Wirang bahkan sampai mencantumkan nomor telpon
kantor Greenberg jika ada pihak tertentu ingin menanyakan perihal hal tersebut.
Bagi siapa pun yang membaca penjelasan Wirang itu tentu ada rasa geli di
dalam hati. Bagaimana mungkin keterlibatan kantor Greenberg Quinlan Rosner
Research dalam merekayasa citra palsu Jokowi akan diumumkan secara terbuka.
Sebaliknya, keterlibatan Greenberg sedapat mungkin dirahasiakan. Kenapa ?
Pertama, karena Greenberg dikenal luas sebagai sosok Yahudi kiri liberal. Frase
/ kata ‘Yahudi’ saja sudah menimbulkan alergi antipati mayoritas rakyat
Indonesia, apalagi paham kiri liberal yang dianut Greenberg, pasti menimbulkan
reaksi negatif yang luar biasa dari rakyat Indonesia dan berdampak antipati
rakyat terhadap Jokowi, figur yang dibantu Greenberg pencitraan dan
kemenangannya.
Sosok Greenberg sebagai konsultan politik yang berhasil mengubah persepsi
rakyat Amerika Serikat (AS) dan militer AS, dari yang semula menentang Lesbian,
Gay, Transgender dan Biseksual (LGBT) menjadi berbalik mendukung LGBT merupakan
tokoh yang dianggap sebagai perusak nilai – nilai agama dan budaya luhur yang
menjunjung tinggi kodrat kemanusiaan. Greenberg adalah pahlawan bagi kelompok
lesbian, gay, transgender dan biseksual, yang kini mendapat tempat seluas –
luasnya di AS dan militer AS.
Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang mengetahui sepak terjang Greenberg
dalam mengubah persepsi dan perilaku manusia melalui pembentukan opini publik,
Greenberg tak ubahnya seperti bahaya laten komunis yang menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuan. Tokoh kiri liberal yahudi ini merusak nilai – nilai
agamis pancasilais yang menjadi dasar hidup rakyat dan bangsa Indonesia.
Keterlibatan Stanley Greenberg dalam pencitraan palsu Jokowi adalah bersifat
sangat rahasia dan pasti tidak akan diakui secara resmi. Namun, jejak Greenberg
dalam setiap pencitraan Jokowi (termasuk Ahok) dapat dibuktikan dengan
ketelitian dan kecermatan kita menganalisa metode dan strategi pencitraan yang
ditampilkan Jokowi (dan ahok).
Jejak pertama keterlibatan Stanley Greenberg pada rekayasa citra Jokowi
adalah keikutsertaan / nominasi Jokowi di seleksi walikota terbaik dunia
melalui The Mayors Foundation. Lembaga ini dipilih sebagai salah satu cara
mengorbitkan nama Jokowi karena tidak memerlukan persyaratan atau kriteria yang
rumit. Siapa saja bisa diajukan sebagai nomine dan siapa saja bisa memberikan
suara dukungan (vote) secara online. Lebih mudah Jokowi menang di The Mayors
Foundation daripada peserta Indonesian Idol atau acara idol – idolan lain.
Cukup dengan mengerahkan ratusan sampai ribuan orang yang dibayar murah untuk berikan
suara dukungan / pilihan untuk Jokowi melalui online.
Keikutsertaan Jokowi diseleksi di Mayors Faoundation itu kemudian
dieksploitasi habis – habisan oleh media – media nasional dan lokal yang sudah
merupakan bagian dari tim pencitraan Jokowi. Tidak ketinggalan media luar
negeri yang merupakan jaringan Stan Greenberg atau James Riady cs untuk
memberikan apreasiasi, liputan luas dan testimoni – testimoni yang sangat
kental kebohongannya.
Jejak kedua dapat dilihat dari aktifitas Jokowi sehari – hari yang lebih
banyak ditujukan atau untuk kepentingan pencitraan diri Jokowi dengan liputan
media secara masif dan kontiniu. Semua gerak langkah, tingkah laku, perbuatan,
dan seterusnya dimuat tanpa henti oleh media. Kegiatan – kegiatan Jokowi ini
dikombinasi dengan program – program populis yang dibiayai APBD tapi lebih
merupakan program untuk kepentingan pencitraan Jokowi daripada kepentingan umum
/ rakyat. Mulai dari acara pesta sambut tahun baru, ulang tahun Jakarta, konser
Metalica, festival keraton sedunia dan seterusnya hingga kedatangan –
kedatangan selebriti dunia yang khusus diundang untuk memberikan bobot
pencitraan Jokowi. Persis konsepnya dengan konsep Stan Greenberg ketika
mengorbitkan Clinton sebagai capres AS pada tahun 1991 – 1992.
Jejak ketiga adalah pola pembagian tugas antara Jokowi dan Ahok. Jokowi
sibuk pencitraan sesuai arahan Stan Greenberg, Ahok diarahkan untuk mengubah
nilai – nilai agamis dan Pancasilais menjadi kiri liberal sekuler sesuai dengan
tujuan mereka untuk memberikan ruang yang lebih besar di kalangan rakyat
Indonesia bagi kelompok non muslim dan sekuler menjadi pemimpin negara.
Pernyataan – pernyataan dan kebijakan – kebijakan Ahok yang memancing konflik
sosial dan polemik sosial itu dilakukan secara sistematis : mempertentangkan
agama dengan konstitusi, menghina Muhammadiyah, melecehkan betawi dan FPI,
menempatkan Susan yang murtad sebagai Lurah di Lenteng Agung yang dikenal
sebagai basis muslim tradisional dan seterusnya. Tugas khusus Ahok sesuai
arahan Greenberg adalah agent of change utk nilai – nilai islam dan pancasila
menjadi nilai -nilai sekuler. Ahok tidak perlu pencitraan diri dan mengejar
kekuasaan karena jika Jokowi menjadi Presiden RI secara otomatis Ahok akan
menjadi Gubernur DKI. Kemenangan bagi kubu James Riady cs yang dibantu penuh
Greenberg. Dan kehancuran total untuk rakyat Indonesia.
Jejak keempat Stan Greenberg terlihat dari kunjungan – kunjungan para tokoh
menemui Jokowi yang masih merupakan jaringan Greenberg seperti Evan Greenberg
yang berkunjung ke Jakarta Juli 2013 lalu mengatasnamakan Ketua Perdagangan AS
– Indonesia, lembaga yang sebelumnya tak pernah terdengar. Atau kedatangan
Menlu Inggris ke Balaikota DKI temui Jokowi sambil menyelundupkan Duta Besar
Israel untuk Singapura dalam rombongannya.
Jejak kelima Stan Greenberg adalah keanggotaannya di Arkansas Connection
yang terkait erat dengan James Riady yang juga anggota Arkansas Connection.
Paguyuban Arkansas Connection dikenal di AS sebagai sebuah kelompok yang
memiliki pengaruh besar terhadap pemerintahaan Obama, dimana Bill dan Hilary
Clinton sebagai tokoh utama Arkansas Connection sekaligus penasihat bagi
presiden Obama.
Jejak keenam Stan Greenberg terlihat dari keterlibatannya dalam
mengkoordinasi dan sinkronisasi jaringan media dalam dan luar negeri untuk
pembentukan opini dan citra positif Jokowi dengan menampilkan kehebatan –
kehebatan palsu Jokowi dan menutupi semua kelemahan – kelemahan dan kegagalan –
kegagalan Jokowi. Penguasaan lebih 80% media massa nasional dan pembentukan
kanal – kanal berita khusus Jokowi di Kompas, Detik dan seterusnya itu adalah
bagian dari rencana besar Greenberg.
Jejak ketujuh Greenberg dapat dilihat pada atensinya secara pribadi yang
besar terhadap sosok Jokowi. Greenberg konsultan politik dan ahli poling nomor
satu dunia ini tanpa sungkan mempromosikan Jokowi yang ‘hanya’ seorang Gubernur
Jakarta, ditengah – tengah kesibukannya yang luar biasa menangani ratusan
politisi kelas dunia yang menjadi kliennya.
Peran Greenberg itu terlihat jelas ketika tanpa diketahui alasannya,
Greenberg tiba – tiba menampilkan ‘hasil survey dan penelitiannya’ yang dimuat
pertama sekali oleh media – media milik James Riady (First Media Grup).
Greenberg tercatat sedikitnya tiga kali turun langsung mempromosikan Jokowi
sebagai capres terkuat, capres terjujur, dan capres yang paling dapat diterima.
Semua publikasi survey dan pendapat Greenberg itu bukanlah sesuatu kebetulan
belaka melainkan erat hubungannya dengan posisinya sebagai otak dari tim
pencitraan dan konsultan politik Jokowi bersama – sama rekannya sesama anggota
kelompok elit Arkansas Connection, James Riady. (Raden Nuh)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar