endahuluan Seorang
filosof Yunani terkemuka Aristoteles pernah mengatakan bahwa politik
merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya karena tujuan dan target
akhir politik adalah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat yang sehat sehingga semua warga negara merasa dilindungi
dan dibela hak-haknya untuk tumbuh menjadi pribadi sehat sesuai minat
dan bakatnya. Selain itu para filosof juga pada umumnya memandang
politik sebagai seni dan ilmu yang sangat terhormat dan karenanya para
politisi haruslah memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi.
Menurut para pemikir, prasyarat politik adalah kualitas moral yang harus
dimiliki oleh pelaku politik di samping kompetensi dan profesionalitas.
Hal ini tentu melahirkan argumen lanjutan seperti yang disampaikan
Komaruddin Hidayat: “Bila para politisi tidak bermoral dan tidak
memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka bisa mendidik dan
mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang
beradab?”
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens".
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik
dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya.
Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala
cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?
Analisis Kebutuhan BerkuasaKebutuhan
akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu cara di mana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan
berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk
mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori
Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan
aktualisasi diri. Mc Clelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan
sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi
kepemimpinan.
Need of Power (n-pow) adalah motivasi
terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh
terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan
memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan
status dan prestise pribadi.
Mereka yang memiliki kebutuhan
kekuasaan dapat menjadi orang yang memiliki dua tipe, personal dan
institusional. Mereka yang butuh kekuasaan personal menginginkan orang
lain secara langsung, dan kebutuhan ini sering diterima sebagai hal yang
tidak diingini. Seseorang yang membutuhkan kekuasan lembaga mau
mengorganisir usaha orang lain untuk tujuan lebih lanjut dari
organisasi. Manejer dengan kebutuhan kekuasaan lembaga yang tinggi
cenderung lebih efektif dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan
kekuasaan personel tinggi.
Pentingnya Etika Politik Urgensi
etika atau moral menjadi suatu keniscayaan tatkala orientasi politik
yang dijalani bermuara untuk menciptakan tatanan bangunan kemasyarakatan
yang beradab dan sejahtera. Dalam konteks politik yang ideal tentunya
semua sepakat bahwa untuk membangun civil society yang berasaskan
kebijakan kemasyarakatan, aspek moralitas, etika santun dan sportifitas
harus dijunjung tinggi. Dalam penjelasan mengenai etika berpolitik,
Komaruddin Hidayat mengatakan adanya kemiripan antara dunia politik dan
dunia sepak bola. Kedua dunia tersebut dalam prosesnya sama-sama
bersifat kompetitif dan melahirkan dua pihak: yang kalah dan yang
menang. Dalam setiap pertunjukannya keduanya menjadi sebuah festival
yang mencakup berbagai dimensi seperti unjuk kecerdasan berupa taktik
dan tipu muslihat, bertahan, menyerang, teriak suporter sampai luapan
emosional. Namun diharapkan masing-masing bersifat kesatria dan sportif
demi terciptanya susana yang etis dan beradab. Penonton tentu akan
lebih senang melihat setiap kompetisi sepak bola atau kompetisi politik
yang apik dan tidak menimbulkan konflik.
Lalu, pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana dengan kualitas dunia perpolitikan kita?
Dalam hal ini kita harus jujur mengakui bahwa dunia politik kita masih
memerlukan pendidikan etika secara serius dan kontinuitas. Kecurangan,
politik uang dan korupsi yang semakin laten disinyalir masih berakar
kuat dan mentradisi dalam tubuh politik Indonesia. Hampir di setiap
festival pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia terjadi kecurangan
dan kerusuhan yang menyeret masyarakat untuk terjun ke dalam konflik.
Dan tak jarang pula konflik politik tersebut melebar menjadi konflik
yang bernuansa SARA.
Selain itu banyaknya politisi yang bertarung
dalam dunia politik ternyata menggunakan cara-cara yang tidak etis.
Serangan fajar, money politic, saling serang antar kandidat hingga upaya
memobilisasi massa untuk membatalkan rekapitulasi suara kerap kali
menghiasi halaman utama media massa. Hal tersebut bisa segera kita
ketahui karena politisi yang bertarung tersebut tidak mempunyai mental
dan moral yang baik sebagai seorang politisi sejati. Sang politisi yang
kalah selalu merasa tidak puas dan selanjutnya tradisi menggugat yang
menang pun terjadi. Sebaliknya dalam pesta politik kita selalu mendengar
isu seputar politik uang yang dilakukan kandidat politisi yang
memenangkan kompetisi. Hal-hal tersebut semakin mempertegas
kecenderungan politik pragmatis yang selalu menjadi orientasi para
politisi. Komaruddin Hidayat lebih mempopulerkan gaya politik tersebut
dengan istilah politik panjat pinang.
Ia mengatakan: Kultur
politik Indonesia persis tercermin dalam lomba panjat pinang yang amat
digemari rakyat tiap memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Di sana
tak ada pemenang sejati, karena konsep kemenangan hanyalah akibat
kejatuhan yang lain dan itu pun dengan cara menginjak sesama teman
sendiri.
Pernyataan tersebut cukup menggambarkan bagaimana proses
festival panggung politik kita yang masih saja belum jauh dari
carut-marut. Walaupun pihak panwaslu melaporkan bahwa penyelenggaraan
pesta demokrasi berjalan sukses, tetapi tidak bisa dipungkiri kita kerap
mendengar sentilan miring kecurangan dan politik uang yang terjadi.
Saya pun dalam hal ini tidak bermaksud menyalahkan pihak panwaslu atau
panitia pemilu karena saya yakin mereka telah berusaha keras dalam
menyukseskan setiap kegiatan pemilu. Yang menjadi titik tekan adalah
bagaimana para kandidat yang bertanding untuk bersikap legowo dan etis
dengan mempertimbangkan standar hati nurani: apakah yang dilakukan itu
benar?
Sisi-sisi negatif perpolitikan yang telah diungkapkan
tersebut sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan atau bersikap
pesimis terhadap dunia politik kita. Hal tersebut justru untuk
mendiagnosa penyakit apa yang sedang terjadi dan mencari akar
permasalahannya.
Melihat realitas politik yang terjadi saat ini,
tentu kita segera sadar akan urgensi penerapan etika politik. Etika
politiklah yang mengarahkan dan menciptakan institusi-institusi yang
lebih adil (Paul Ricoer: 1990). Tujuan etika politik adalah untuk kritis
terhadap praktek kekuasaan. Karena politik yang dijalankan tanpa etika
akan selalu menimbulkan konflik dan berorientasi pada kemenangan dan
kekuasaan bukan pada semangat untuk membangun bersama.
Realitas
di lapangan membuktikan politisi kita saat ini cenderung berorientasi
pada kekuasaan dan keuntungan sehingga menimbulkan gambaran politik yang
pragmatis dan oportunis. Menurut hemat saya, gaya politik para politisi
tersebut semakin memperburuk citra politik negeri ini. Mereka lebih
mengutamakan bahasa ekonomi dan bahasa politik pragmatis dalam
pergulatan politik tanah air. Bahasa politik pragmatis selalu bertanya,
siapa yang menang? (who is winning?). Sedangkan bahasa ekonomi bertanya, di mana untungnya? (where is the bottom line?). (Yudi Latif: 2009)
Apalagi
saat ini genderang kompetisi kandidat kepala daerah sudah mulai
ditabuh, maka kita harapkan masing-masing peserta kompetisi lebih
beretika dalam menjalankan pesta politik tersebut. Kita mengharapkan
para politisi kita berlomba menampilkan nuansa kampanye yang lebih
edukatif, transparan dan harus sportifitas.
Sudah seyogyanya para
politisi beralih dari politik oportunis pragmatis ke politik etis.
Tidak lagi menggunakan cara-cara miring untuk mencapai kemenangan serta
berlomba menampilkan kualitas moral dan intelektual kandidat. Jika
selama ini para politisi hanya menjual janji dan promosi, mulai saat ini
“barang dagangan” harus diganti dengan menjual platform-platform
(gagasan) dan program kerja nyata yang memihak kalangan grassroot.
Ide-ide yang ditawarkan harus tidak mengabaikan konsep bagaimana
membangun kebijakan publik yang tidak kontra dengan keinginan
masyarakat. Karena masyarakat sekarang sudah jenuh akan perilaku
penguasa yang seringkali berkoalisi dengan pengusaha. Apalagi di
Propinsi Jawa Tengah ini yang tidak lama lagi akan menggelar hajatan
politik, tentunya kalangan masyarakat mengharapkan akan tampilnya para
kandidat calon pemimpin yang mampu menampilkan gagasan brilian,
kompeten, professional, santun dan mempunyai moral yang baik.
Dengan
berlandaskan politik yang beretika tentunya tayangan festival pesta
politik yang nantinya diselenggarakan mampu menjadi suatu tontonan yang
memuaskan semua kalangan. Antara pihak yang menang dan yang kalah tidak
terjadi ketegangan yang memicu konflik horizontal. Masing-masing pihak
bisa bekerjasama dalam membangun Negeri tercinta ini. Hingga pada
akhirnya secara langsung maupun tidak para politisi telah mewariskan
pendidikan etika dalam politik.
Membangun Demokrasi yang Bersih Kalau
orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat
melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu
merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah
etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak
santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi
tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral,
nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di
mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika
politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil
akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati
dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan).
Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar.
Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga,
pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan
membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan
adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke
etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional",
menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Tujuan
etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang
lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika
politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual,
tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya
korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir
menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam
bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung
tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang
lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun
institusi-institusi yang adil.
Tiga tuntutan itu saling terkait.
"Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud
kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi
yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan:
kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi
yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan
warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya,
kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap
institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir
ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu
demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties:
kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan
mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur,
etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi
terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual,
kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam
tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial,
untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak
mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan
antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak
langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani
pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa
simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan
nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui
simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan
sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga
mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena
membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi,
bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis
terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol
itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan
budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Realitas Politik Transaksional Sejak
Indonesia memasuki era reformasi, banyak perubahan fundamental telah
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang paling
signifikan terjadi pada sistem tata kelola pemerintahan dengan
diterapkannya sistem check and balances (pengawasan dan kesamaan
kedudukan) dalam menjalankan fungsi dan wewenang di antara lembaga
eksekutif, legislatif dan judisial. Namun sayang pelaksanaan reformasi
yang sejatinya bertujuan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
transparan masih dihadang oleh kendala lemahnya moral oknum pejabat
negara yang mudah tergoda oleh faktor uang untuk kepentingan memperkaya
diri sendiri.
Faktor
uang menjadi dominan dan mengalahkan kepentingan lainnya karena pejabat
publik yang sedang berkuasa memerlukan investasi politik yang cukup
besar guna memenuhi ambisi melanggengkan kekuasaannya bagi masa depan
suksesi agar tetap berada di lingkungan keluarganya. Di beberapa daerah
sudah terjadi alih-kepemimpinan pucuk pimpinan yang berlangsung mulus
hanya di antara satu lingkaran keluarga.
Ternyata
rakyat di daerah cukup permisif menyikapi fenomena dinasti kekuasaan
ini terlepas dari faktor nonteknis yang memudahkan pengajuan calon-calon
kepala daerah yang masih ada ikatan keluarga dekat dengan pejabat yang
akan digantikannya. Fenomena jabatan kepala daerah memang termasuk
paling banyak mendapat sorotan, bukan semata-mata karena berpeluang
melahirkan dinasti politik, tetapi juga diakibatkan oleh disharmonisasi
hubungan kepala daerah dan wakilnya di tengah masa jabatan akibat
seringkali orang nomor dua (wakil) berambisi merebut kursi nomor satu
pada pilkada berikutnya.
Guna
mengeliminasi aspek peluang lahirnya kepala daerah yang berasal dari
satu keluarga dan persaingan antara kepala daerah dan wakilnya,
diperlukan amandemen konstitusi tentang susunan dan kedudukan (susduk)
melalui niat yang tulus dalam pembahasan di lembaga legislatif tanpa
ditunggangi kepentingan politik dan uang. Carut-marut kehidupan
berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari manuver para politisi yang
memiliki hak membuat undang-undang, baik atas inisiatif dewan sendiri
maupun membahas rancangan konstitusi yang diajukan oleh pemerintah
(eksekutif).
Tawaran Solusi Politik yang Beretika Mengingat
tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan,
ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan,
maka banyak strategi yang harus dilakukan:
Pertama,
meretas etika politik itu sedini mungkin melalui lingkungan keluarga:
membiasakan pola relasi yang seimbang antara dua jenis manusia,
menghargai keberagaman, dan perbedaan pendapat, terutama sejak anak-anak
masih kecil.
Ke dua,
memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah hingga
lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan etika politik di
dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai politik baik
AD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya.
Ke
tiga, perlu memotivasi para mahasiswa untuk bersedia mengambil peran
dalam kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi
kader politik mahasiswa, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan
keadilan bersama.
Ke
empat, yang lebih signifikan adalah, membangun proses penyadaran akan
pentingnya etika politik dalam setiap lapisan masyarakat. Terakhir,
ingatan sosial terhadap kekerasan di masa lalu membutuhkan
pertanggungjawaban sebagai wujud dari sebuah etika politik, karena itu,
perlu tindakan kongkrit seluruh instansi, terutama pemerintah dalam
menyikapi situasi ini yang juga melibatkan semua komponen di dalamnya.
Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah politik yang beretika. Semoga.
Wonosobo, 5 September 2014. * Drs. HM Abdul Kholiq, MAg, Dosen di Universitan Sains Al-Quran (UNSIQ), Wonosobo