Rabu, 23 Juli 2014

Jokowi Presiden Tanpa Legitimasi. Bagaimana Jadinya?"

KPU sudah mengumumkan hasil pilpres 2014, 9 Juli, dan pasangan Jokowi-JK, menang dengan suara 53 persen, sementara Prabowo kalah dengan suara 46,85 persen. Silisih yang tipis. Namun, sebelum hasil pilpres ini menjadi keputusan Prabowo menyatakan mundur dari pilpres 2014 ini.

Dasar Prabowo mundur dari pilpres ini, karena Timses Prabowo memiliki data dan faka yang kuat, terjadinya kecurangan yang tersetruktur, sistematis, dan masif. Bahkan, menurut Ketua Timses Prabowo Junus Yosfiah, adanya keterlibatan hacker dari Cina dan Korea yang menggelembungkan suara GOLPUT, hingga 4 juta suara.

Di internal Timses Prabowo, mereka memiliki data yang akurat, berdasarkan CI, di mana Pbowo menang dengan suara 52 presen, sedangkan Jokowi memperoleh suara 48 persen. Tapi, kemudian angka dibalik, dan dimenangkan pasangan Jokowi-JK dengan angka, Jokowi-JK mendapatkan suara 53 persen, dan Prabowo mendapatkan suara 47,85 persen.

Sejatinya, kemenangan Jokowi dengan suara hanya 53 persen, dan sekarang menjadi polemik, tentang terjadinya kecurangan dasar legitimasi Jokowi-JK lemah. Bagaimana mau memimpin Indonesia, dan menjadi presiden dengan dasar legitimasi yang lemah? Sebuah pemerintahan yang menghadapi 'distrust' yang luas, tidak mungkin menjadi efektif.

Belum lagi, pemerintahan yang tidak mendapatkan dukungan legislatif, secara mayoritas, pasti tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Mayoritas parlemen dikuasai oleh pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Sehingga, pemerintahan Jokowi-JK, pasti akan mendapatkan kesulitan dalam pengelolaan pemerintahan di  masa depan.

Pasangan Jokowi-JK hanya didukung oleh PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, dan PKPI saja. Mungkin JK akan melakukan pendekatan dengan jalan menarik Golkar, melalui orang-orang Golkar yang sudah 'membelot' ke dalam kubunya, dan mempercepat Munas Golkar, melengeserkan Aburizal Bakri, dan memilih diantara orang Golkar yang dekat dengan JK, masuk koalisinya guna mendukung pemerintahan. Tapi, tidak semudah membalikan telapak tangan.

Memasukkan orang Golkar di dalam pemerintahan atau kabinet Jokowi, tidak mudah. Karena, para pendukung Jokowi yang mewakili berbagaki kepentingan sudah 'ngantri' ingin masuk kabinet. 'Tidak Ada Makan Siang Gratis Bung'. Pasti mereka semua minta upah.  

Jokowi-JK juga menghadapi 'distrust' yang hebat, dan tidak mudah memimpin negeri ini hanya dengan modal suara 53 persen. Jokowi-JK dengan legitimasi yang lemah, tidak bakal efektif memimpin pemerintahan.

SBY yang mendapatkan dukungan 65 persen suara, dan dukungan 11 partai politik, yang tergabung dalam koalisi, terseok-seok. Apalagi Jokowi-JK yang hanya didukung 53 persen suara, dan adanya 'distrust' yang luas dari masyarakat? Kemenangan Jokowi-JK terlalu dipaksakan.

Pemilu legislatif lalu, Jokowi juga tak mampu mendongkrak suara PDIP, yang hanya mendapat suara dibawah 20 persen. Padahal, dukungan media massa, media sosial sudah sangat luar biasa, membuat citra tentang Jokowi, tetapi tidak ada 'Jokowi Efect'. Tetap saja suara PDIP jeblok.

Padahal, sebelumnya oleh lembaga-lembaga survei memprediksi PDIP akan memperoleh 37 persen suara. Jadi masih lebih baik Oma Irama, yang berhasil mendongkrat PKB dari partai gurem, menjadi partai menengah dengan suara hampir 10 persen.

Di pilpres 'Jokowi Efect' juga tak ada, terbukti suaranya yang didapatkan hanyalah 53 persen. Masih lebih baik Prabowo, yang awalnya oleh lembaga-lembaga survei suara Prabowo hanyalah 20 persen!

Tapi, justru Prabowo mampu mengangkat suaranya dengan angka 46,85 persen. Bahkan, kalau tidak ada rekayasa oleh hecker Cina dan Korea, Prabowo menang dengan dukungan suara 52 persen.

Apalagi, nanti seandainya benar menang dan terpilih sesuai dengan keputusan KPU, kemudian dilantik di Gedung Parlemen, dan hanya dihadiri oleh partai pendukungnya. Sedih. Benar-benar menjadi sejarah, 
presiden tanpa legitimasi. (jj/dbs/voa-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar