BANGKOK, Inilah dokumen lengkap berasal dari perpustakaan online
Universitas Ohio, Amerika Serikat. Dokumen itu diunggah pada tanggal 29
Oktober 1999.
Dalam dokumen itu disebutkan empat wartawan Indonesia, salah satunya
dari majalah Panji. Mereka berbincang-bincang dengan Prabowo, Kamis 14
Oktober 1999, atau setahun setelah diberhentikan dari ABRI.
Berikut obrolan Prabowo dengan empat wartawan di Indonesia:
Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali.Mungkin
tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan
khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi
tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan
teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal
agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian
anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya
anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.
Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen
untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi
ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan
bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang
memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk
Kodam dilibatkan.
Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan' dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.
Dari siapa Anda terima daftar itu?
Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan
harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada
rekamannya.
Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?
Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau
panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau
mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi
semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.
Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
Tentu saya tanya.
Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
Ha...ha...ha.... Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.
Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.
Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat
dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ.
Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar
pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius
Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan.
Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari
mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI.
Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya.
Sudah dapat belum si ini... begitu. Kejar-kejaran semua. Itu pun, maaf
ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya
perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini
namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka
kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi
Arief kan dikejar-kejar.
Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto?
Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima
daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang
sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto
sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi
intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum. Tapi,
sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau
memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.
Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan
kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau. Saya
dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarakan
agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat
Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya
dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari Pak Harto. Saya
tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto
sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.
Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa Trisakti,
saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak
Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu
menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto
kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Apalagi Pak Harto di Kairo
memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang tidak
suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus
terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.
Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak
adil.Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau
melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom.
Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat.
Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di
rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak
itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang
hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang
bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya
tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah peledakan bom di
tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita harusnya dapat
ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam
peledakan itu. Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada
Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi dia juga akhirnya terima kasih.
Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.
Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan. Dalam
dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya nggak bisa
dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada
mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya
diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak
untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung jawab. Di DKP
pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah
perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan
mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin mereka salah
menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan perintah saya
begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya
tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.
Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah
tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya
sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak
heran. Ini risiko saya. Iya kan?
Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu, dibuat
begini, begitu. Ah..., saya merasa dikecewakan oleh Pak Wiranto. Saya
merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu bagaimana. Dia tahu kok ada
perintah penyelidikan itu. Begitu dia jadi pangab, saya juga laporkan,
sedang ada operasi intelijen, sandi
yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa
itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya
dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.
Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemusaya juga.
Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai,
dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya.
Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian dipolitisasi. Dan memang
waktu itu saya harus dihabisi. Dulu JenderalSoemitro dituduh terlibat
Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R.Dharsono dituduh terlibat
kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak
bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah
bikin salah. Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak
sasai manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke
perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.
Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya
penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia
internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu
berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasimanusia.
Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal,
untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru
membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau you
berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan
bikin aksi teror.
Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan
kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom tiap
minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana.
Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi,
kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan.
Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya
media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.
Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?
Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga.
Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim
bilang, "Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu
benar." Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau
diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler
kepada rakyat Jerman.
Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?
Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya
TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak
baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi. Ada
masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang
dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.
Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998
tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih
yang Anda lakukan hari itu?
Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di rumah
Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat itu,
Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, "Gawat nih Wo, ada
mahasiswa yang tewas tertembak." Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya
sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi.
Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau
ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu,
terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14
Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih
pergi juga?
Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muisdan
menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran
pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya
saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat
Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak
Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan
saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan
ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus
diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya
telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.
Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim
Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen
Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh
panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal,
komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat,
perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya sudah,
saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.
Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di
Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti
telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan
Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di
sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah orang
di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan kerusuhan.
Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena Setiawan Djodi
dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah ada beberapa
orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang Widjojanto, dan beberapa
orang lain. Itu pertemuan terbuka, membicarakan situasi yang terakhir.
Bang Buyung dominan sekali malam itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup
makan malam dan kemudian kami ada rapat staf di Mabes.
Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal
menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei,
bagaimana ceritanya. Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu
kota adalah Pangdam Sjafrie?. Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih
tinggi ya panglima ABRI.
Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan
situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan
dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda
sampai pada kesimpulan itu?
Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di
Jakarta,melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah
sempat bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan
kemungkinan adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa
meluas, bukan tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin
ada korban di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.
Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?
Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat jatuh
korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya bagian
dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya membuat situasi
agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh juga. Sejarah kan
begitu kejadiannya.
Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan Jakarta?
Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.
Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?
Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. "Bowo, kalau saya
jadi presiden, you pangab." Itu faktanya. Habibie bahkan mengatakan saya
ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat
dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya. Meskipun
sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu yang
bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab,
apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita menjadi
pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa kemudian
dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian
kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja. Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.
Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?
Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil alih
situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres masih ada
dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan untuk mengambil
alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau apa?
Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara
psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak
Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu
semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang.
Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang.
Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya
banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.
Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei
1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie merasa
terancam?
Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden,
wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong besar
berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.
Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan
pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi
(almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat
G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya
diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja
tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya
dia selalu berkata. "Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan segan-segan
menemui saya." Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie untuk bertanya
apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan pangkostrad. Habibie
bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan ayah mertua kamu juga.
Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.
Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda,
apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan,
karena dekat dengan pusat kekuasaan?
Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa tidak
meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu tidak bisa
dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena bendera. Kain
itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi bendera. Itu kan
kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan, berapa harganya? Saya
dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang itu bisa membangkitkan
semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan musuh. Pakai duit berapa?
Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the salon officer. Apa nih
Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai bendera, pakai teriakan.
Kenapa orang fanatik membela sepakbola, sampai membakar, ini psikologi
massa. Masa kita mau mati karena uang? Buat apa uangnya kalau kita harus
mati.
Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?
Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush jadi
presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa
politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan
dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung
pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa kali
saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali bertugas
di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut kejuaraan,
berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya buat di Mount
Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih prajurit komando
dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang dicari cuma daftar
dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah politik, segala dosa
bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia ini, dia itu. Semua
bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik.